Minggu, 24 Agustus 2014

pengelolaan keuangan pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Sebelum memaparkan tentang keuangan pendidikan pendidikan,sebaiknya kita memahami bahwa pendidikan merupakan salah satu sektor jasa yang sangat penting dan menentukan dalam pembanguna suatu pembangunan suatu Negara.
            Ada pergesran persepsi mengenai jasa pendidikan ini sebelumnya pendidikan meru;pan dari bagian dari “Public Service” Atau jasa layanan Umum dari Negara kepada kepada masyarakat yang tidak memperhitungkan untung dan rugi. “return” dan cost benefit”dari biaya yang dikeluarkan tersebut. Sehingga pendidikan tidak menarik perhatian untuk terus ditingkatkan kearah yang lebih baik dan dianggap tidak segnipikan bagi pembangunan bila anggaran pendidikan terus perbesar namun sekarang pengertian itu bisa di anggap keliru dan bisa di ubah,sehingga menjadikan pendidikan itu merupakan sektor jasa yang investatif-produktif dan menjadi di terminan bagi pembangunan suatu bangsa
Di Negara-negara yang sudah maju pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga di anggap sebagai investatif “human investment” dan menjadi “liding sector” atau salah satu sektor di utamakan. Oleh karena itu anggaran pendidikan tidak kalah besarnya dari sektor lainnya sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkolerasi bagi kemajuan pebangunannya.
B.       Rumusan Masalah
Oleh karena pembahasan pengelolaan keuangan pendidikan sangatlah luas maka penulis membatasi pembahasan makalah ini pada:
1.      Dana pendidikan perlu di kelola secaa memadai dan evisient
2.      Adanya sumber sukarelawan dari masyarakat
3.      Pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan
Tujuan














BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian pengelolaan keuangan  
J.Hallak dalam analisis biaya pendidikan,,biaya dalam arti yang umum yaitu dalam bentuk moneter/uang.sementara STEPEES, biro perencanaa,Depdikbud menyatakan bahwa konsep biaya dalam pendidikan terdiri dari seluruh biaya yang di keluarkan dan di manfaatkan untuk menyalenggarakan pendidikan baik oleh pemerintah,perorang an dan masyaakat untuk mendapatkan pendidikan.biaya dalam pengertian yang bagi konsumen memakai barang/jasa di anggap mewakili biaya sebenarnya Yng di keluarkan oleh produsen dan konsumen.
Di dalam bidang pendidikan,para produsen ini mungkin saja terdiri dari pemerintah departemen pendidikan nasional yang menangani sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan negri,badan swasta atau yayasan pendidikan atau lembaga-lembaga pendidikan formal (pendidikan luar sekolah).sedangkan para konsumen adalah bisa peserta didik atau keluarga. Pemerintah dan masyarakat yang menjadi pembeli atau pemakai jasa tersebut.  Biaya bagi peserta didik atau keluarga yaitu uang sekolah dan beban pajak yang di perhitungkan harus dibayar sekolah.
Tentu saja dengan asumsi bahwa pendidikan yang di selenggarakan oleh pemerintah merupakan atau yang bersifat pelayanan umum. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa biaya pendidikan adalah biaya bagi pemerintah, masyarakat,keluarga atas berlakunya system pendidikan nasional.artinya produsen atau konsumen berbaur menjadi satu transaktor ekonomi
Dalam kaitan ini Zymelman dengan jelas mengatakan bahawa pembiayaan pendidikan tidak hanya menyangkut analisi sumber-sumber dana, tetapi juga menyangkut penggunaan dana – dana ini secara efisien.makin efisien sistempendidikan,makin kecil dana yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan itu.pleh karena itu dengan pengelolaan dana secara baik akan membantu meningkatkan efisien penyelenggaran pendidikan. Artinya dengan anggaran yang tersedia dapat mencapai tujuan pendidikanyang ebih produktif,efektif,efisien dan relevan atara kebutuha di bidang dibidang pendidikan dengan pembangunan dan masyarakat(link and match)
Setelah dicanangkan undang-undang RI nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang RI nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka ada pergeseran wewenang dari pemerintah pusat dan daerah, Kedua UU teesebut sebagai dasar hokum bagi daerah untuk mengatur diri sendiri (otomi) yang berimplikasi pula pada pengelolaan pendidikan, dan keuangan pendidikan yang tidak selalu tergantung pada pusat dan organisasi pendidikan didaerah.
Secara sederhana pegelolaan dana pendidikan itu mencakup dua aspek
1.      Dimensi penerimaan atau sumber dana,dan
2.      Dimesi pengeluaran atau alokasi dana
Dimensi penerimaan antara lain sumber dari: penerimaanumum pemerintah,penerima khusus pemerintah yang diperuntukan bagi pendidikan,iuran sekolah,dan sumbangan-sumbangan masyarakat,
Sedangkan dimensi pengeluaran meliputi: pengeluaran modal/capital atau anggaran pembangunan (capital outlay/expenditure)
B.                Sumber-sumber keuangan sebagai dimensi penerimaan
Undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2mengatakan bahwa : setiap warga Negara berhak memperoleh pengajaran dan pemerintah menguahakan dan melakasanakan satu system pengajaran nasional. Dalam rangka mengemban amanat itu,salah satu masalah pokok yang masih kita hadapi dewasa ini adalah masih banyak rakyat Indonesia yang belum memperoleh kesempatan belajar yang lebih baik. Usaha mengatasi masalah itu telah dilakuakan sejar Repelita I yang lalu yaitu melakukan program perluasan kesempatan belajar dan tingkat pendidikan dasar dan dilanjutkan dengan usaha-usaha perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu dalam undang-undang sistempendidikan nomeor 20 tahun 2003 ditegaskan secara jelas, bahwa pengadaa dan pendayagunaan sumber-sumber daya pendidikan dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan atau keluarga peseta didik. Berdasarkan kenyataan bahwa manfaat yang diperoleh dari hasil keuntungan (return benefit) atau yang langsung mendapat keuntungan dari pendidikan itu bukan lah pemeritah saja, tetapi juga pihak lain seperti pihak lain seperti peserta didik itu sendiri, orang tua dan masyarakat maka tangung jawab atas pembiayaan pendidikan menjadi bahan bersama.
Bagian –bagian dalam dimensi penerimaan meliputi:
1.      Hasil menerimaan umum
2.      Penerimaan pemerintah khusus untuk pendidikan
3.      Iuran sekolah
4.      Sumbangan-sumbangan sukarela dari masyarkat
C.                Jenis-jenis pengeluaran dalam pendidikan
Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet  menyatakan: Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.
Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.
Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.
setelah dicanangkan undang-undang RI No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan undang-undang RI No 25 tahun 1999 tentang pertimabangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah,maka ada pergeseran wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kedua undang-undang tersebut sebagai dasar hukum bagi daerah untuk mengatur diri sendiri (otonomi) yang ber implikasi pula pada pengelolaan pendidikan yang tidak selalu tergantung pada pusat dan organisasi di daerah 
C. Manfaat Akuntabilitas    Pendidikan
Akuntabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek-aspek penting perencanaan,  antaralain:
1.         Tujuan/performan yang ingin  dicapai
2.         Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan
3          .Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan tugas
4.         Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai, dan lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
5.         Lingkungan     sekolah            tempat program           dilaksanakan
6.         Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara pasti.

D. Pelaksana Akuntabilitas  Pendidikan
            Made Pidarta (1988) menyebutkan bahwa pelaksanaan akuntabilitas ditekankan pada guru, administrator, orang tua siswa, masyarakat serta orang-orang luar lainnya.
Di dalam perencanaan participatory , yaitu perencanaan yang menekankan sifat lokal atau desentralisasi, akuntabilitas ditujukan pada sejumlah personil sebagai berikut.
1. Manajer/ administrator/ ketua lembaga, sesuai dengan fungsinya sebagai manajer.
2. Ketua perencana, yang dianggap paling bertanggungjawab atas keberhasilan perencanaan. Ketua perencana adalah dekan, rektor, kepala sekolah, atau pimpinan unit kerja lainnya.
3. Para anggota perencana, mereka dituntut memiliki akuntabilitas karena mereka bekerja mewujudkan konsep perencanaan dan mengendalikan implementasinya di lapangan.
4. Konsultan, para ahli perencana yang menjadi konsultan.
5. Para pemberi data, harus memiliki performan yang kuat mengingat tugasnya memberikan dan menginformasikan data yang selalu siap dan akurat.
E. Pelaksanaan Akuntabilitas          Pendidikan
            Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda.
Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan desain ulang sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Misalnya di Indonesia hari ini telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan            masyarakat.
            Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang        akuntabel.
            Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat, sekolah dan orang tua siswa, sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah, antara kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.
Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Hal ini karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua       siswa.
            Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola. Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi.
Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiensi    eksternal.
Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi  menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak akuntabel.
Rita Headington berpendapat ada tiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan. Ketiganya menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri, misalnya akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang terkait dengan pendidikan.
F. Langkah-Langkah Akuntabilitas           Pendidikan
            Made Pidarta (1988) merumuskan langkah-langkah yang harus di tempuh untuk menentukan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan, sebagai berikut:
1.         Menentukan tujuan program yang dikerjakan, dalam perencanaan disebut misi atau tujuan perencanaan.
2.         Program dioperasionalkan sehingga menimbulkan tujuan-tujuan yang spesifik.
3.          Menggambarkan kondisi tempat        bekerja.
4.         Menentukan otoritas atau kewenangan petugas        pendidikan.
5.         Menentukan pelaksana yang akan mengerjakan program/ tugas. Ia penanggungjawab program, menurut konsep akuntabilitas adalah orang yang         dikontrak.
6. Membuat kriteria performan pelaksana yang dikontrak secara jelas, sebab hakekatnya yang dikontrak adalah performan        ini.
7. Menentukan pengukur yang bersifat bebas, yaitu orang-orang yang tidak terlibat dalam pelaksanaan program            tersebut.
8. Pengukuran dilakukan sesuai dengan syarat pengukuran umum yang berlaku, yaitu secara insidental, berkala    dan
9. Hasil pengukuran dilaporkan kepada orang yang berkaitan.
G. Faktor yang Mempengaruhi Akuntabilitas       Pendidikan
            Faktor yang mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan dan tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya yang mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas.
H. Upaya Peningkatan Akuntabilitas         Pendidikan
            Menurut Slamet
ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan    akuntabilitas:
1. Sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggungjawaban.
2. Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
3. Sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/ stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
4. Menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders.
5. Melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/ stakeholders diakhir tahun.
6. Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik.
7. Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan.
8. Memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.
Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk mewujudkannya. Jika sekolah mengetahui sumber dayanya, maka dapat lebih mudah digerakkan untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada.
Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, dapat dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet : Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas          adalah:
1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.
2. Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah,       dan
3. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di                     masyarakat.
Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaimana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar